Bendera dan lagu Kebangsaan Jepang
Bendera Jepang
Bendera Jepang (Nisshōki 日章旗 atau Hinomaru 日の丸 "cakra surya" dalam bahasa Jepang), memaparkan cakra besar berwarna merah di
bagian tengah di atas bidang warna putih.
Legenda mengatakan bahwa bendera ini berasal
dari zaman invasi Mongolia ke Jepang pada abad ke-13. Dikatakan bahwa seorang
bhiksu Buddha, Nichiren, mempersembahkan bendera matahari ini seorang Shogun
yang mempunyai upaya untuk mematahkan serangan Mongol. Lambang matahari ini
pernah dijumpai di kipas berlipat yang dibawa oleh para samurai semasa
pergelutan kuasa di antara klan Taira dan Minamoto. Ia juga sering digunakan di
panji-panji militer pada Zaman Sengoku di abad ke-15 dan abad ke-16. Keshogunan
Tokugawa (1603-1867) menetapkan penggunaan bendera ini untuk kapal-kapalnya
sejak awal tahun 1600. Pada pertengahan abad ke-19, kerajaan-kerajaan shogun
yang lain mengarahkan semua kapal Jepang untuk membuat perkara yang sama.
Semasa era Restorasi Meiji pada tahun 1868,
bendera ini dianggap sebagai bendera kebangsaan. Walaupun telah digunakan di
lautan sejak 1870, penggunaannya di darat baru menjadi resmi pada 13 Agustus
1999. Variasi terkenal bendera ini menunjukkan matahari dengan 16 sinar merah,
digunakan oleh angkatan bersenjata Jepang sehingga akhir Perang Dunia II.
Bendera ini kini digunakan oleh Angkatan Laut Jepang.
Lagu
Kebangsaan Jepang Kimigayo
Kimigayo (Jepang: 君が代 kimigayo), dalam Bahasa Indonesia sering diterjemahkan sebagai "Semoga
kekuasaan Yang Mulia berlanjut selamanya", adalah lagu kebangsaan Jepang. Ia adalah salah satu lagu kebangsaan yang
terpendek di dunia, dengan panjang hanya 11 bar dan terdiri dari 32 karakter
huruf saja. Lagu ini ditulis dalam sebuah metrum Jepang Waka, sedangkan liriknya ditulis dalam zaman Heian (794-1185) dan melodinya ditulis pada akhir zaman Meiji. Melodi yang ada saat ini dipilih pada tahun
1880, dan menggantikan melodi sebelumnya yang tidak populer, yang digubah
sebelas tahun sebelumnya.
Meskipun Kimigayo telah lama menjadi lagu kebangsaan de facto Jepang, lagu ini secara hukum baru diakui resmi pada tahun 1999 dengan disahkannya undang-undang mengenai bendera nasional dan lagu kebangsaan Jepang. Setelah ditetapkan, terdapat kontroversi mengenai diputarnya lagu kebangsaan tersebut pada perayaan-perayaan di sekolah umum. Kimigayo, seperti juga bendera Hinomaru, oleh beberapa pihak dianggap merupakan simbol dari imperialisme dan militerisme Jepang.
ASAL USUL
Meskipun Kimigayo telah lama menjadi lagu kebangsaan de facto Jepang, lagu ini secara hukum baru diakui resmi pada tahun 1999 dengan disahkannya undang-undang mengenai bendera nasional dan lagu kebangsaan Jepang. Setelah ditetapkan, terdapat kontroversi mengenai diputarnya lagu kebangsaan tersebut pada perayaan-perayaan di sekolah umum. Kimigayo, seperti juga bendera Hinomaru, oleh beberapa pihak dianggap merupakan simbol dari imperialisme dan militerisme Jepang.
ASAL USUL
Lirik lagu ini pertama kali muncul dalam sebuah antologi puisi bernama Kokin Wakashū, sebagai sebuah puisi yang anonim. Meskipun sebuah puisi anonim bukanlah tidak lazim pada waktu itu, identitas pengarang yang sebenarnya mungkin saja sudah diketahui, tetapi namanya mungkin sengaja tidak disebutkan karena berasal dari kelas sosial yang lebih rendah. Puisi ini dicantumkan dalam berbagai antologi, dan dalam periode selanjutnya digunakan sebagai lagu perayaan oleh orang-orang dari semua lapisan sosial. Tidak seperti bentuknya yang digunakan untuk lagu kebangsaan saat ini, puisi ini awalnya dimulai dengan "Wa ga Kimi wa" (Engkau, Yang Mulia) dan bukannya "Kimi ga Yo wa" (Kekuasaan Yang Mulia). Perubahan lirik terjadi pada zaman Kamakura.
Pada tahun 1869 di awal zaman Meiji, seorang pemimpin band militer Irlandia bernama John William Fenton yang sedang berkunjung ke Jepang menyadari bahwa Jepang tidak memiliki lagu kebangsaan nasional. Ia menyarankan kepada Iwao Ōyama, seorang perwira dari Klan Satsuma, agar menciptakan lagu kebangsaan tersebut. Ōyama setuju, dan memilihkan liriknya.Lirik yang terpilih memiliki kemiripan dengan lagu kebangsaan Inggris, kemungkinan karena adanya pengaruh dari Fenton. Setelah Ōyama memilih lirik lagu kebangsaan, ia kemudian meminta Fenton untuk menciptakan melodinya. Setelah diberikan hanya tiga minggu untuk menggubah lagu dan hanya beberapa hari untuk berlatih, Fenton menampilkan pertama kalinya lagu kebangsaan itu di depan Kaisar Jepang pada tahun 1870. Ini adalah versi pertama Kimigayo, yang disingkirkan karena melodinya dianggap "kurang khidmat". Namun, versi ini masih tetap diperdengarkan setiap tahun di Kuil Myōkōji di Yokohama, tempat Fenton pernah menjabat sebagai pemimpin band militer. Myōkōji berperan sebagai tempat peringatan bagi Fenton.
Pada tahun 1880, Biro Rumah Tangga Kekaisaran menyetujui suatu melodi baru yang ditulis oleh Yoshiisa Oku dan Akimori Hayashi. Komposer versi ini sering tertulis sebagai Hiromori Hayashi, yang sesungguhnya adalah ayah dan sekaligus atasan dari Akimori. Akimori juga merupakan salah satu murid Fenton. Meskipun melodi ini dibuat berdasarkan pada bentuk tradisional musik istana Jepang, namun ia digubah dalam gaya campuran yang terpengaruhi oleh himne Barat, dan menggunakan beberapa elemen dari aransemen Fenton. Musisi Jerman Franz Eckert kemudian menerapkan harmoni melodi gaya Barat (mode Gregorian), sehingga menciptakan versi Kimigayo yang dipakai sekarang. Pada 1893, berkat usaha Departemen Pendidikan, Kimigayo masuk dalam perayaan-perayaan di sekolah umum. Kimigayo dimainkan di nada C mayor, menurut harian The Japan Times.
LIRIK
Rōmaji
Kimigayo wa
Chiyo ni yachiyo ni
Sazare-ishi no
Iwao to narite
Koke no musu made
Bahasa Inggris
May your reign
Continue for a thousand, eight thousand generations
Until the pebbles
Grow into boulders
Lush with moss
Bahasa Indonesia
Semoga kekuasaan Yang Mulia,
Berlanjut selama seribu, delapan ribu generasi,
Sampai kerikil,
Berubah menjadi batu karang,
Hingga diselimuti lumut.
Interpretasi tradisional
Sejak zaman Heian atau sebelumnya, kata "kimi" telah digunakan:
·
sebagai kata benda untuk menunjukkan seorang kaisar atau
tuan seseorang (yaitu: penguasa)
Sebagai contoh, tokoh
protagonis Hikaru Genji (光源氏) dalam Hikayat Genji juga disebut Hikaru no Kimi atau Hikaru-gimi
(光の君 atau 光君?).Interpretasi mutakhir
Dalam Konstitusi Jepang (yang diumumkan pada 3 November 1946), Kaisar Jepang
tidak lagi berdaulat, tapi merupakan simbol Negara dan kesatuan rakyat.
Pada tahun 1999, selama
pembahasan Undang-Undang Mengenai Bendera Nasional dan Lagu
Kebangsaan, definisi resmi Kimi
atau Kimi-ga-yo berulangkali dipertanyakan.Kemudian Perdana Menteri Keizō Obuchi menjawab pada 29 Juni 1999, sebagai berikut:
“
|
"Kimi" melambangkan Kaisar, yang merupakan simbol Negara dan kesatuan
rakyat, dan posisinya berasal dari konsensus keinginan dari warga negara
Jepang, yaitu tempat kekuasaan kedaulatan berada. Dan, frasa (ungkapan) "Kimigayo"
menunjukkan Negara kita, Jepang, yang memiliki Kaisar yang dinobatkan sebagai
simbol Negara dan kesatuan rakyat oleh konsensus keinginan dari warga negara
Jepang. Dan adalah masuk akal untuk beranggapan bahwa lirik Kimigayo
berarti keinginan untuk mencapai kemakmuran dan perdamaian abadi di negara
kita yang seperti itu.
|
”
|
Undang-Undang
Mengenai Bendera Nasional dan Lagu Kebangsaan tidak menjelaskan secara detail bagaimana harus
menunjukkan rasa hormat selama pergelaran Kimigayo, tetapi badan
pemerintahan lokal dan organisasi swasta kadang-kadang menyarankan atau
menuntut agar protokol tertentu diikuti. Sebagai contoh, sebuah instruksi
Pemerintah Metropolitan Tokyo pada bulan Oktober 2003 mengharuskan para guru
untuk berdiri saat pergelaran lagu kebangsaan pada upacara kelulusan. Sambil
berdiri, mereka diminta untuk menyanyikan Kimigayo sambil menghadap Hinomaru. Personil militer Amerika Serikat di Jepang, bahkan
ketika dalam pakaian sipil, diwajibkan oleh peraturan untuk meletakkan tangan
kanan di atas dada mereka ketika Kimigayo, The
Star-Spangled Banner, atau lagu kebangsaan lainnya dimainkan. Undang-Undang
Mengenai Bendera Nasional dan Lagu Kebangsaan juga tidak menentukan kapan atau
di mana seharusnya Kimigayo diperdengarkan. Meskipun demikian, lagu
kebangsaan lazim dimainkan dalam acara-acara olahraga Jepang, atau dalam acara
olah raga internasional di mana Jepang memiliki tim yang bertanding. Pada
turnamen sumō, Kimigayo dimainkan
sebelum seremonial pemberian penghargaan.
.
Sejak akhir Perang Dunia II telah muncul kritik terhadap lagu kebangsaan, karena
hubungannya terhadap paham militerisme dan makna kiasan penyembahan kaisar sebagai dewa, yang
menurut sebagian orang tidak sesuai dengan adab masyarakat yang demokratis. Keberatan yang sama juga
diberikan terhadap versi bendera nasional Japang yang sekarang, dan
kadang-kadang terjadi demonstrasi yang ditujukan terhadap keduanya.
Pada tahun 1999,
pemerintah Jepang menyetujui undang-undang mengenai bendera nasional dan lagu
kebangsaan, yang menetapkan Kimigayo
sebagai lagu kebangsaan dan Hinomaru sebagai bendera nasional. Pemerintah menyatakan pada
saat persetujuan undang-undang tersebut bahwa lirik lagu kebangsaan adalah
harapan atas Jepang yang damai dengan kaisar sebagai lambang persatuannya.
Sekolah-sekolah banyak terlibat konflik atas kewajiban pada lagu kebangsaan dan
bendera tersebut. Sejak 23 Oktober 2003, 410 guru dan pekerja sekolah telah
dihukum karena menolak untuk berdiri dan menyanyikan lagu kebangsaan seperti
yang diperintahkan oleh kepala sekolah. Hal ini telah menjadi kepala berita di
berbagai suratkabar.
Dewan Pendidikan Tokyo menetapkan agar lagu kebangsaan
dinyanyikan dan bendera dikibarkan pada berbagai acara di sekolah-sekolah
negeri di metropolitan Tokyo, dan agar guru-guru sekolah menghormati keduanya
(misalnya dengan berdiri untuk menyanyikan lagu kebangsaan) atau menghadapi
risiko kehilangan pekerjaan. Meskipun protes telah diajukan dengan argumentasi bahwa
peraturan tersebut melanggar Konstitusi Jepang, namun Dewan berpendapat bahwa karena sekolah-sekolah
tersebut lembaga milik pemerintah, maka para karyawan mempunyai kewajiban untuk
mengajarkan siswa-siswa bagaimana menjadi warga negara Jepang yang baik. Katsuhisa Fujita, seorang pensiunan guru di Tokyo, pada
tahun 2006 diancam dengan pidana penjara dan akhirnya didenda sebesar ¥ 200.000 (kira-kira Rp. 20.000.000,-). Ia
dituduh mengganggu upacara kelulusan di Sekolah Menengah Atas Itabashi, dengan cara mengajak
para hadirin untuk tetap duduk saja selama lagu kebangsaan dimainkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar